Terbitkalimantan.com, Pelaihari – Kasus mafia tanah dengan kerugian fantastis akhirnya terbongkar. Polres Tanah Laut berhasil mengungkap dugaan penipuan dan penggelapan jual beli tanah fiktif yang menyeret tiga tersangka berinisial BE, B, dan AS. Ketiganya kini resmi ditahan setelah berkas perkara dilimpahkan ke Kejaksaan.
Kasus ini mencuat usai PT Wiratama Lautan Rejeki (PT. WLR) melaporkan adanya transaksi tanah yang tidak sesuai dengan kesepakatan. Perusahaan tersebut merasa dirugikan hingga Rp52,2 miliar.
Wakapolres Tanah Laut, Kompol Andri Hutagalung, S.Ab., M.A.P., dalam konferensi pers di Joglo Wicaksana Laghawa Polres Tala, Senin (15/09/2025), mengungkap modus para pelaku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Para tersangka menawarkan tanah, kemudian membuat surat palsu, bahkan ada yang menjual tanah milik keluarga dengan mark up harga. Ini jelas bentuk penipuan dan penggelapan,” tegas Andri, didampingi Kasat Reskrim AKP Cahya Prasada Tuhuteru, S.Trk., S.I.K., M.H., serta jajaran terkait.
Kasus bermula pada tahun 2016 ketika PT. WLR berencana membeli lahan seluas 500 hektare di Desa Pandahan, Liang Anggang, dan Sambangan, Kalimantan Selatan. Namun, kesempatan ini justru dimanfaatkan para tersangka dengan cara licik.
Mereka diduga memanipulasi data tanah, membuat Surat Kepemilikan Tanah (SKT) fiktif, serta menjual tanah dengan harga jauh di atas nilai sebenarnya. Dari hasil pemeriksaan, perusahaan diketahui membayar lebih tinggi, sementara pemilik tanah hanya menerima uang muka kecil.
“Para tersangka meyakinkan korban bahwa tanah yang dijual punya prospek bagus, lalu memperbanyak luasan tanah dengan SKT fiktif yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Harga juga dijual dengan mark up tinggi,” jelas AKP Cahya.
Barang bukti yang disita polisi tak main-main: 211 lembar SKT bermasalah (overlapping), 94 SKT fiktif, dokumen perjanjian jual beli, hingga berita acara hasil pengukuran ulang tanah.
Pengukuran ulang yang dilakukan akhir 2024 hingga awal 2025 akhirnya membongkar fakta mengejutkan: banyak surat tanah tumpang tindih dan bahkan tidak ada objek tanahnya sama sekali.
“Total kerugian korban berdasarkan laporan PT. WLR mencapai Rp52,245 miliar,” ungkap Kompol Andri.
Lebih parah lagi, saat diminta dilakukan pengukuran ulang sesuai perjanjian, para tersangka justru selalu menolak. Mereka berdalih dengan berbagai alasan, mulai dari mencari tambahan tanah hingga pandemi COVID-19.
Kini, BE, B, dan AS harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka dijerat Pasal 372 KUHP tentang penggelapan serta Pasal 378 KUHP tentang penipuan, dengan ancaman hukuman penjara bertahun-tahun.