Terbitkalimantan.com, BANJARMASIN – Isu dugaan keberatan orang tua siswa terhadap sumbangan sukarela di SMKN 5 Banjarmasin memicu perdebatan di ruang publik. Namun, di balik narasi yang berkembang, pihak sekolah menilai terdapat sejumlah fakta yang luput dari pemberitaan.
Kepala SMKN 5 Banjarmasin, Dr. Drs. H. Syahrir, MM, akhirnya angkat bicara dan memberikan klarifikasi terbuka guna meluruskan informasi yang dinilai tidak disampaikan secara utuh. Dalam wawancara khusus, Senin (15/12/2025), ia menegaskan bahwa isu tersebut berpotensi menyesatkan jika tidak ditopang data dan konteks yang lengkap.
“Yang menjadi masalah bukan kritiknya, tetapi cara menyimpulkan. Informasi yang parsial bisa membentuk opini publik yang keliru,” ujar Syahrir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rapat Orang Tua dan Fakta yang Terlewat
Menurut Syahrir, mekanisme komunikasi antara sekolah dan orang tua telah dilakukan secara terbuka melalui rapat tahunan wali siswa. Forum tersebut tidak hanya membahas sumbangan, tetapi juga menyangkut prestasi siswa, sistem pembelajaran, kesiapan praktik kerja lapangan (PKL), hingga penguatan karakter.
Ia menduga, keberatan yang muncul kemungkinan berasal dari orang tua yang tidak mengikuti keseluruhan proses rapat, sehingga tidak memahami konteks pembahasan secara menyeluruh.
“Kalau hadir dari awal sampai akhir, jelas disampaikan bahwa ini bukan pungutan. Tidak ada target, tidak ada tekanan,” tegasnya.
Peran Komite dan Batasan Dana Negara
Dalam rapat tersebut, Ketua Komite Sekolah, Husaeni, juga menjelaskan peran komite sebagai jembatan partisipasi masyarakat. Salah satu hasil nyata dari partisipasi itu adalah pembangunan Musholla sekolah.
Syahrir menegaskan, secara regulasi dana BOS maupun BOSDA tidak dapat digunakan untuk pembangunan gedung baru. Dengan jumlah siswa lebih dari 2.000 orang, Musholla menjadi fasilitas penting untuk mendukung program sholat berjamaah Dzuhur dan Ashar sebagai bagian dari pembinaan karakter religius.
“Kalau menunggu dana negara, bisa bertahun-tahun tidak terbangun. Ini murni gotong royong orang tua,” jelasnya.
Klaim Tekanan Dipertanyakan
Terkait narasi adanya “orang tua tertekan”, Syahrir menyatakan klaim tersebut perlu diuji secara objektif. Menurutnya, tekanan psikologis tidak bisa disimpulkan hanya dari asumsi atau pernyataan sepihak tanpa indikator ilmiah dan pembuktian.
“Tidak ada sanksi bagi yang tidak menyumbang. Bahkan ada yang tidak berpartisipasi sama sekali, dan itu tidak pernah dipermasalahkan,” katanya.
Ia menilai penggunaan istilah “tertekan” berpotensi membangun stigma negatif terhadap institusi pendidikan tanpa dasar yang kuat.
Regulasi Dibuka, Bukan Ditutup
Sebagai akademisi di bidang kebijakan publik, Syahrir menegaskan bahwa Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 justru memberi ruang bagi partisipasi masyarakat melalui komite sekolah, selama tidak berbentuk pungutan wajib.
“Yang dilarang itu pungutan. Yang dibolehkan adalah sumbangan sukarela. Ini dua hal yang berbeda dan sering disalahartikan,” ujarnya.
Selain Musholla, dana partisipasi orang tua juga diarahkan untuk membantu penyelesaian pembangunan lantai dua ruang kelas yang telah mangkrak selama empat tahun akibat keterbatasan anggaran. Upaya pengajuan bantuan ke pemerintah pusat dan daerah, kata Syahrir, telah dilakukan berulang kali namun belum membuahkan hasil.
Soal Generalisasi dan Dampak Hukum
Syahrir juga menyoroti kecenderungan generalisasi opini dalam pemberitaan. Menurutnya, pandangan satu atau dua orang tidak dapat serta-merta dianggap mewakili lebih dari 2.000 orang tua siswa.
“Kalau itu dijadikan kesimpulan umum, tentu tidak adil. Bahkan bisa berimplikasi hukum,” ujarnya.
Prestasi yang Terabaikan
Di tengah polemik tersebut, SMKN 5 Banjarmasin justru mencatat prestasi nasional. Dalam Rapat Koordinasi Finalisasi dan Verifikasi Tracer Study 2025 Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, sekolah ini meraih penghargaan atas capaian Tracer Study 100 persen dengan 748 alumni—terbanyak se-Regional Kalimantan.
Sejak 2021, SMKN 5 Banjarmasin tercatat sebagai satu-satunya SMK di Indonesia yang mampu mencapai Tracer Study 100 persen secara konsisten. Pada 2024, sebanyak 240 lulusan bahkan langsung terserap ke dunia industri pasca PKL.
“Ini bukti bahwa fokus kami adalah kualitas lulusan, bukan sekadar isu yang dibangun tanpa data,” tegas Syahrir.
Penutup: Antara Kritik dan Tanggung Jawab Informasi
Menutup klarifikasinya, Syahrir menegaskan pihak sekolah tidak anti kritik. Namun ia mengingatkan pentingnya tanggung jawab dalam menyampaikan informasi pendidikan kepada publik.
“Kritik itu perlu, tapi harus berbasis fakta dan regulasi. Pendidikan tidak boleh dijadikan komoditas opini,” pungkasnya. (tk)






