Terbitkalimantan.com, PANGKALAN BUN – Kuasa hukum ahli waris almarhum Brata Ruswanda, Poltak Silitonga, melontarkan protes keras terhadap pernyataan seorang oknum hakim adhoc berinisial E di Pengadilan Tinggi Palangka Raya. Pasalnya, sang hakim disebut telah menuding pihak ahli waris berencana membakar Kantor Pengadilan Negeri Pangkalan Bun apabila tidak memenangkan perkara sengketa lahan di Jalan Rambutan.
“Saya sangat prihatin dengan sikap seorang hakim yang begitu mudah mempercayai isu murahan tanpa verifikasi kebenaran. Seharusnya seorang hakim menjaga integritas dan tidak larut dalam kabar bohong,” tegas Poltak di Pangkalan Bun, Senin (6/10/2025).
Menurut Poltak, tuduhan tersebut adalah fitnah keji dan tidak masuk akal.
“Mana mungkin seorang ibu berusia 70 tahun yang hanya ingin memperjuangkan hak warisnya sampai tega membakar pengadilan? Kalau benar ada bukti, tentu sudah ditangkap sejak dulu,” ujarnya dengan nada geram.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Poltak menilai pernyataan oknum hakim adhoc itu melampaui kewenangan dan berpotensi mengintervensi proses hukum, karena ikut berkomentar bahwa perkara tersebut adalah Ne Bis In Idem (perkara yang sama tidak dapat diadili dua kali).
“Padahal jelas, perkara yang diajukan ahli waris kali ini berbeda. Itu bukan ranah hakim adhoc untuk menilai seperti itu. Saya sangat menyayangkan ucapan tersebut karena bisa menimbulkan persepsi bahwa proses hukum tidak netral,” tegasnya lagi.
Lebih jauh, Poltak menjelaskan bahwa inti sengketa ini bermula dari adanya SK Gubernur Kalimantan Tengah yang diduga palsu (bodong) dan dijadikan dasar untuk menguasai tanah milik ahli waris Brata Ruswanda.
“SK itu hanya berupa fotokopi tanpa dasar hukum yang jelas, dan nomenklaturnya pun salah. Tahun 1974 belum ada istilah ‘Provinsi Kalimantan Tengah’, masih Daerah Tingkat I. Artinya SK itu sangat janggal,” paparnya.
Akibat SK tersebut, Badan Pertanahan Nasional (BPN) menolak memproses sertifikat tanah ahli waris, meski putusan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun sudah menyatakan SK itu tidak memiliki kekuatan hukum.
“Persidangan kami terbuka, bisa dilihat publik dan media. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Kalau ada yang bilang kami menang karena mau membakar pengadilan, itu murni fitnah dan upaya mengaburkan fakta,” tegas Poltak.
Poltak juga meminta Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi ketat jalannya proses banding agar tidak ada intervensi dari pihak manapun. Ia bahkan menyinggung adanya dugaan lobi-lobi terselubung dari pihak tergugat.
“Saya berharap KY benar-benar mengawal perkara ini. Jangan sampai ada pihak yang mencoba menekan atau mempengaruhi hakim. Kepercayaan publik terhadap hukum bisa runtuh kalau hal seperti ini dibiarkan,” ujarnya.
Poltak memastikan pihaknya akan melaporkan oknum hakim adhoc E ke kepolisian atas tuduhan menyebarkan fitnah dan pencemaran nama baik.
“Kami minta beliau menjelaskan dari mana informasi itu berasal. Ini sudah merugikan dan mencoreng nama baik klien kami,” tegasnya.
Ia menduga isu tersebut sengaja dimainkan pihak tergugat karena panik tidak memiliki bukti dan saksi kuat.
“Saksi mereka sendiri malah mengaku tidak tahu-menahu tentang asal-usul pemberian tanah itu. Karena itulah mereka berusaha mengalihkan perhatian publik dengan menyebar isu murahan,” pungkas Poltak Silitonga. (Ril)